BALA MALAHIA CORNER MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS DILANTIKNYA DRS CORNELIS MH MENJADI GUBERNUR KALIMANTAN BARAT man CHRISTIANDY SANJAYA SEBAGAI WAKIL GUBERNUR. HIDUP PUTRA DAYAK!!

Kamis, 19 Juli 2007

CONEKNG*)

(Testimoni Misteri Pelet Dayak Kanayat)


By Yana


Ini bukan lelucon. Empat tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, seorang gadis berperawakan tinggi kerempeng dengan dada kecil datang ke rumah sambil menyeret sisa tangis.
Namanya De, Desember tahun ini ia genap berusia 22 tahun. De adalah temanku, walau kami tak begitu akrab. Rambutnya yang panjang dan jarang diikat memberi kesan feminim pada yang melihat. Satu hal yang uni dari gadis ini, dia selalu membawa tas setiap berpergian.
Malam itu ia menemuiku dengan wajah gusar dan mata yang sedikit sembab.
Bugs Gif Images
“Padahal sebelumnya aku tak menyukainya.” Mata De menerawang jauh, tatapannya gelap menabrak malam.


Aku masih diam belum mengerti apa yang terjadi. De hanya mengatakan kalau sesuatu dalam dirinya sedang bergejolak. Akibatnya makan pun tak enak, tidur pun tak nyenyak. Semakin lama, wajahnya semakin gelisah.

Ada apa? Aku mengerutkan kening, tak mengerti. Aku merubah posisi duduk, lebih dekat dengannya, menanti kalimat selanjutnya.
Hening, padahal malam belum begitu larut. Tapi di luar sudah sepi. Maklumlah, listrik padam, hujan gerimis pula. Hawa dingin membuat membuat orang-orang terlanjur merapat ke balik selimut dan malas untuk keluar lagi. Tapi kami baru memulai percakapan di beranda rumah.

Pasti tak ada yang lebih enak dilakukan selain tidur, pikirku. Kecuali ada hal yang sangat luar biasa, seperti yang dialami De.
Mulut gadis itu kembali terbuka, menyemburkan sesuatu yang membuat aku terperangah.
“Aku diguna-gunai. Buktinya tiap saat aku selalu teringat padanya. Pasti dia meberikan sesuatu di mangkuk baksoku.”

De menceritakan terakhir bertemu dengan lelaki itu, seminggu sepekan lepas.
“Dia mentraktirku bakso di kantin sekolah,” ujarnya.
Ia menatapku nanar, menunggu reaksi.
“O...,”
Aku hampir cekikian, tapi kutahan saja. “Hari gini masih percaya sama yang begituan?” pikirku dalam hati.
De mengaku, tiap saat, tiap waktu dan kemana pun kakinya melangkah wajah pemuda teman sekolahnya itu terus terbayang. Ingin bertemu, rindu noek-noek (mengganggu) yang melampaui batas. Barangkali seperti rasa haus yang tak tertahan!

“Apa kau tau penawarnya? Aku begitu tersiksa jika terus terkenang.”
De mengeluh, ia tampak sangat menderita.
“Mungkin aku tau sedikit,” sahutku sekenanya. Padahal aku tak begitu yakin.
“Itu namanya conekng atau yang disebut Pelet.”

***
Conenkng atau pelet bahasa lainnya adalah ilmu pengasihan. Suatu daya magis yang membuat orang yang dipelet tergila-gila dan ‘jatuh cinta’ kepada pengguna. Orang Dayak Iban menyebutnya Jayau, tapi orang Dayak Kanayatn menyebutnya conekng. Aku pernah mendengar kakekku bercerita tentang ilmu magic yang satu ini. Seorang peneliti jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia, Dr Hermansyah pernah menulis tesis tentang Magi Ulu Kapuas. Diantaranya membuat kajian tentang kearifan lokal masyarakat Melayu Kapuas Hulu yang memiliki cuca atau jampi-jampi demikian.

Aku memutar memoriku ke tiga tahun silam. Pada percakapan dengan kakekku. Kakekku itu dikenal sebagai seorang para normal atau dukun paboreatn. Yaitu orang yang memiliki keahlian mengobati orang sakit dengan cara babore balenggang (ritual pengobatan tradisional Dayak Kanayatn). Saat mengobati si sakit, kakek membaca mantranya diiringi tetabuhan yang berasal dari dau (gong-gong kecil), tawak (gong besar) dan solekng (suling).

Orang kampung memanggilnya Nek Usu. Tapi nama lengkapnya adalah Yohanes Uncokng. Orang Dayak Kanayat selalu menyebut kakek atau nenek dengan Nek saja, lantas diikuti nama nya. Misalnya Nek Baruang Kulup, Nek Bagas, Nek mangku dan lain-lain. Sama dengan masyarakat Dayak Kayaan Mendalam yang menyebut kakek atau nenek cukup dengan kata Uku’. Nek Usu usianya sekitar 65 tahun. Dia cukup punya nama di Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang.

Suatu hari kakek menjelaskan kalau conekng adalah sejenis ritual yang dilaksanakan dengan tujuan membuat pria atau wanita yang diinginkan menjadi tertarik dan tergila-gila pada peyonekng. Penyoneng adalah orang yang memakai conekng untuk memelet. Masih menurut kakek, conekng tidaklah berbahaya bagi nyawa seseorang. Ia hanya membuat orang mengalami kerinduan hebat.

“Conekng nang lazim urakng kanal, khususnya urakng diri Dayak Kanayatn, conekng nang make mantra. Sabanarnya ada uga’ conekng nang nana’ make mantra. Cuma make ‘paribuh-paribuh’ koihan. Make cara palakasanaan nang kusus. Palaksana’annya malam Jum’at. Nana’ mulih malam lain,” terang Nek Usu.

Meski pandai berbahasa Indonesia, tetapi jika berbicara kepada cucu-cucunya dan orang sekampung, Nek Usu selalu menggunakan bahasa daerah. Jika diterjemahkan, artinya, ”conekng yang lazim orang kenal, khususnya orang kita dayak kanayatn adalah conekng yang menggunakan mantra. Sebenarnya ada juga conekng yang tidak menggunakan mantra. Hanya menggunakan barang-barang saja. Menggunakan cara pelaksanaan yang khusus. Pelaksanaannya malam Jum’at, tak boleh malam lain.

“Ah… hal mistis memang tak jauh-jauh dari malam Jum’at,” sahutku sedikit berbisik.

Ngahe harus malam Jum’at, nek?”
Nia bapangaruh ka’ kasiat conekng. Kade’ malam lain, awa pama man jubata bai’ atakng manto’. Na’nyium ia ka’ kamayan nang dinunu (Ini berpengaruh pada kasiat conekng. Kalau malam lain, roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tak mau datang menolong. Mereka tak dapat mencium bau kemeyan yang dibakar).”

Salah satunya adalah ritual conekng yang kutahu dari Nek Usu adalah conekng ai’ mata uap. Uap adalah sejenis burung hantu (eurasian eagle-owl) yang dalam bahasa Indonesia disebut Burung Pungguk. Kok air matanya bisa di jadikan pelet? Padahal Dato’ Mohd Nazri Abdul Rahim seorang Ahli Dewan Undangan Negeri Kawasan Sungai Manik, Malaysia, Dato’ Mohd Nazri Abdul Rahim pernah mempublikasikan di http://berita.perak.gov.my/, kalau burung pungguk ini justru bisa diberdayakan untuk memusnakah tikus di ladang. Hmm, lucu juga ya?

Ritual conekng ai’mata uap dilaksanakan tepat malam jum’at. Tak berlaku untuk malam-malam lain. Beberapa sub suku masyarakat Dayak maupun Melayu percaya saat bulan purnama burung ini akan menangis. Nah, jika malam Jum’at, inilah saatnya panyonekng harus beraksi Jum’at.

“Uap…uap…uap…,” begitu kira-kira bunyi burung itu. Beda dengan sepupunya, burung hantu yang berbunyi “Uk..uk…uk…!”
Wih…merinding jadinya bulu kuduk. Kubelai tengkukku yang terasa sejuk.
“Bayangkan saja kalau kita mendengar tangisan burung ini di tengah hutan, sendiri pula,” pikirku dalam hati.

Bagaimana cara panyonekng beraksi? Biasanya mulai dari mengambil sarang burung uap yang basah. Dipercaya sarang itu basah karena air mata burung tadi yang menurut legenda, dia selalu menangis karena terkenang pada bulan kekasihnya. Anda pasti ingat dengan pepatah lama yang berbunyi, ”like the owl calling the moon (bagai Pungguk rindukan Bulan). Lantas sarang itu dibakar sampai menjadi arang.

Urakng nang kana conekng kalakuannya ampir sama man burukng nia. Kaja ngeak kade’dah takanang ka’urakng nang nyonekng ia ,” kata Nek Usu ketika itu. Maksudnya orang yang terkena conekng kelakuannya hampir sama dengan burung ini. Sering menangis saat teringat pada orang yang memberinya conekng.

Arang dari sarang burung ini kemudian dicampur minyak kelapa ijo. Minyak ini terbuat dari daging kelapa hijau yang diparut, diperas dan diambil sarinya lalu disaring. Air hasil saringan direbus sampai kering dan menyisakan minyak. Minyak inilah yang disebut minyak kelapa ijo.

Arang dan minyak yang sudah dicampur tadi kemudian disaring. Hasil saringannya dimasukan ke dalam botol lalu disau’ (mengelilingkan botolnya di atas asap pembakaran kemeyan) sampai minyak tadi berbuih. Setelah itu, masukkan jarum dan kapas ke dalam botol berisi minyak tadi. Minyak inilah yang dioleskan pada alis mata panyonekng menggunakan jari manis. Keesokan harinya, jika bertemu dengan sang pujaan hati (target), panyonekng tinggal mengangangkatkan alisnya atau mengedipkan mata ke arah orang yang menjadi target. Saat beraksi, harus dipastikan mata panyonekng menatap tepat di mata sasaran. Jika memang tokcer, gadis atau pria yang menjadi sasaran pasti langsung jatuh hati dan tergila-gila pada panyonekng.

Tak selesai sampai disitu saja. Panyonekng harus melingkarkan tangannya pada pinggang orang yang menjadi objek sambil menyentuhkan jari manisnya ke tulang rusuk sebelah kiri target. Konon, dengan teknik tambahan ini objek akan semakin tergila-gila, lengket seperti perangko dalam jangka waktu yang lama bahkan bisa seumur hidup. Syaratnya anda sanggup tak melanggar pantangan!

Selain conekng air mata uap, ada lagi conekng yang menggunakan mantra.
Menurut dukun paboreatn yang lain, Andang, conekng yang menggunakan mantra agak lebih sederhana. Seperti Nek Usu, Pak Andang juga dukun paboreatn yang kesohor di seantero Sungai Ambawang, khususnya di Desa Lingga, Korek dan Pancaroba. Tahun ini, usianya mungkin sudah 70 tahun.

Panyonekng harus ngalit bu’uk kakasihnya koa. Kade’ dah namu bu’uk koa, pada malam juma’at panyonekng nunu bu’uk kao tadi ka’ atas kamayan sampe jadi abu. Sambil maca mantra. Kade batamu man kakasih nang dibarea’ conekng tadi, tolesatn abu tadi ka’ kaning antara dua bege’ matanya. Tagah kao dari, pakoa ugak ia naringatatn kao…(Panyonekng harus mencuri rambut kekasihnya itu. Kalau udah dapat rambut itu, malam jum’atnya panyonekng membakar rambut itu di atas pembakaran kemeyan sampai jadi abu. Sambil baca mantra. Kalau bertemu dengan kekasih yang mau diconekng, toleskan saja abu tadi di kening antara kedua matanya. Setelah panyonekng pergi, maka ia akan terkenang),” urainya suatu hari. Ia juga mencontohkan mantra conekng tersebut.

Bismilah tanah ai’ bare’ aku sarupa langit man Allah
Kambang tujuh rupa nyingah ka’aku
Cahaya malimpah ka’muhaku
Kasih malimpah ka’mataku
Tancapatn rusukku ka’ati kakasih
sahingga takana’ takanang ka’muhaku
barakat aku make cahaya langit
barakat aku make cahaya Allah
barakat ak make cahaya pangasih
makin sa’ari makin nganang aku
makin sabulatn makin ngeaki’aku
makin satahutn makin kasih ka’aku
barakat aku make cahaya langit
barakat aku make cahaya Allah
bismilah…

***
Di luar gerimis mereda.
Namun biasnya serasa menikam tulang. Aku menghentikan cerita. De terpaku disebelahku, hanyut dalam malam yang kian larut.

Aku bangkit dari tempat duduk, mengambil dua gelas air putih. Kulirik De yang masih penasaran menanti jawaban.
“Lalu bagaimana menghilangkan conekngnya? Apa penawarnya?” Di bawah remang lampu beranda, matanya tampak berkaca-kaca dan memelas.

Aku menyerumput minuman. Membasahi kerongkongan.
Ah, Kasian juga aku membuat ia menunggu. Aku ingat kalimat Nek Usu tiga tahun yang lalu.

“Pertama, mandi kembang di bawah tangga teras rumah. Satu orang menyiramkan air kembang ke kepalamu. Ramuannya bunga melati, daun selasih, daun sirih dan buah langir. Kedua, merunduk bolak-balik di bawah jemuran. Dijamin pengaruh conekngnya hilang. Coba aja!”

Tapi terus terang aku sendiri tak begitu yakin. Tapi aku bukan cenayang atau para normal yang bisa menyembukan.
Syukyurnya De tampak puas. Senyuman mengembang menghias wajah.

“Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan berhasil melenyapkan pengaruh conekng yang bersarang dalam tubuhku ini,”
“Kau yakin?” Tanyaku.
Aku tersenyum kelu sebelum kami berpisah.

***
TIGA hari kemudian, De datang lagi menemuiku dengan muka pucat. Tampangnya lebih kusut dari kemarin, lelah karena semalaman tak tidur lantaran teringat lelaki berinisial Fd. Saking tak kuatnya, De sampai tersedu-sedu. Nasibnya benar-benar mirip pungguk merindukan bulan hari itu.

“Kemarin aku mandi kembang di bawah tangga teras rumahku, merunduk bolak-balik di bawah jemuran 7 kali, panas-panas pula. Bahkan udah tiga kali diulang. Tapi, tetap saja wajah lelaki itu tak mau lenyap. Bahkan perasaan ini semakin kuat, pengaruh conekng itu belum juga hilang...,” keluhnya.

Keningku kembali mengkerut. Walau tak gatal, tak sadar aku menggaruk-garuk kepala. Hampir saja tawaku meledak.
Terus terang… sulit untuk membedakan antara kasmaran akibat conekng dengan jatuh cinta benaran.
Tapi De tiba-tiba bangkit. Aku terkaget-kaget. Dia seperti seekor burung dara yang menemukan cara lolos dari sangkar.
“Sebentar…,” katanya.
“Apa?” tanyaku agak kaget.
“Aku belum mencoba cara terakhir?”
“Apa itu?”
“Pantangan panyonekng adalah memakan kulat putih. Besok aku akan menemui Fd dan memaksa dia makan kulat itu.”
De bergegas pergi, meninggalkanku yang terbengong-bengong sendirian.

Lingga, 9 Juli 2007

*) Karya salah seorang peserta pelatihan Jurnalistik Mahasiswa se Sungai Ambawang yang dilaksanakan pada 7-9 Juli 2007 di Desa Korek.

Tidak ada komentar: