BALA MALAHIA CORNER MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS DILANTIKNYA DRS CORNELIS MH MENJADI GUBERNUR KALIMANTAN BARAT man CHRISTIANDY SANJAYA SEBAGAI WAKIL GUBERNUR. HIDUP PUTRA DAYAK!!

Senin, 30 Juli 2007

BABURUKNG

(Adat Minta Petunjuk Jubata)

by Herkulanus Agus

Rumah tua itu terletak diantara dua sungai. Beratapkan Zeng, pondasinya dari Kayu belian (kayu ulin) dan tiang penyangganya dari kayu kelas dua.Sekitar seratus tahun sudah tempat itu, digunakan warga suku Dayak Kanayant Sungai Ambawang untuk menyampaikan segala permohonan kepada Jubata (Tuhan). Dari bayar niat, hingga meminta petunjuk sebelum gawai perkawinan dilakukan.
Pagi itu, Kamis (10/4) kira-kira pukul 09.00 WIB. Warga Desa Pancaroba dan warga
Dusun Lingga Dalam Desa Lingga Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak berkumpul ditempat yang sama. Baburungk (Meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum perladangan dimulai). Berbagai sesembahan disiapkan dengan bergotong royong . Paraga adat (Kelengkapan adat) disiapkan bersama-sama. Babi, ayam, tumpi (cucur), subak atau soleng’k (beras yang dimasak dalam batang bambu), beras putih dan beras pulut, bontongk (beras yang dimasak didaun), nasi pulut, kunyit (untuk tepung tawar), sirih kapur, air dan telur.
Tuha Tahun ( Pemimpin adat) Saena, komat kamit membacakan bamang (berdoa) meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebelum perladangan dimulai. Matanya menantap lurus kedepan, sesekali ia membunyikan lempengan besi tebal, hingga keluar pantulan yang cukup nyaring, teng.. teng. Tujuh kali besi itu bertemu, baru dia berhenti sesat. Kemudian ia melanjutkan kembali bamangnya. “Asa, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh,.. o..pama Jubata,”. Berkali-kali kalimat yang sama diulangi.
Suara warga yang cukup ramai mendadak hening. Seolah ingin memperoleh jawaban dari bamang yang disampaikan Saena. Namun sebagaian yang bekerja didapur tetap larut dengan pekerjaanya.
Ada dua pemimpin upacara dalam baburung ini. Saena memimpin upacara di Padagi (Rumah), letaknya persis disebelah selatan bangunan tua itu. Ia sudah lima Tahun diangkat menjadi Tuha Tahun, menggantikan Loyang pendahulunya yang telah menghadap sang Khalik. Loyang sebelumnya juga menggantikan Aho sebagai Tuha Tahun. Aho juga sudah meninggal.
Sedangkan pemimpin adat lainya Darwis bertugas memimpin di anjong (Altar Persembahan), persis dibawah kayu besar. Sesembahan itu diletakan diatas kayu yang dibuat dari belian memyerupai altar persembahan. Isinya sama dengan persembahan yang di Sangahant (didoakan). Darwis pun babamang, “ asa, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh, o pama jubata, ngian kami bapadah…kak kita.,”. Ayam yang masih hidup kemudian diangkat keatas. Kekiri selanjutnya kebawah. Sekitar dua puluh menit
Lamanya Darwis membacakan mantra. Persis dibawah pohon yang kira-kira memiliki diameter 66. Pohon itu rindang. Membuat teduh setiap orang yang berada dibawahnya. Pohon itu juga dililit kayu ara (pohon parasit) yang batangnya juga sudah cukup besar. Sebenarnya Tuha Tahun, hanya sementara menancapkan alktar persembahan disana. Namun sering digunakan oleh warga yang bapinta (memohon) disana..
Ada dua peristiwa adat dalam baburung ini, pertama acara bapipis (meminta keselamatan). Persembahan yang disampaikan kepada Jubata semuanya masih mentah, kemudian didoakan. Setelah itu para tamu yang hadir diberi tepung tawar yang dioleskan diatas kening para tamu. Mula-mula tepung tawar ini dioleskan keatas kening para tokoh desa, seperti Sekdes. Sebab ketika itu, pejabab tertinggi yang hadir cuma Sekretraris Desa Selanjutnya tepung dioleskan kepada semua warga yang hadir. Sehingga tidak satupun warga yang tidak diolesi tepung tawar. Baru kemudian Nyangahant dilanjutkan oleh pemimpin upacara. Ini dimaksudkan agar para warga yang dating, mendapatkan petunjuk dari jubata. Petunjuk ini berupa suara burung yang bersahut-sahutan setelah Nyangahant disampaikan. Biasanya dalam suku Dayak Kananyant disebut rasi. Kicauan burung keto yang nyaring pertanda perladangan tahun ini hasilnya akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Warga lain sibuk menyediakan hidangan berupa daging babi dan ayam yang tadinya dipotong. Daging-daging itu, dimasak dengan aneka sayuran ala masakan Chaines food. Sudah cukup lama suku Dayak Kanayant Sungai Ambawang hidup berbaur dengan warga Tiong Hua. Malah diantara mereka ada yang mempererat hubungan kekeluargaan melalui perkawinan.
Hubungan baik antara warga Dayak dengan Tiong Hua ini, tampak sekali dari tempat-tempat sakral yang ada di sungai Ambawang. Misalnya di Pantulak Kadiaman (tempat peribadatan Tiong Hua) di Kuala Ambawang. Yang membelah Sungai Landak dengan Sungai Ambawang.
Saat itu, hampir dua ratus warga yang ikut ambil bagian dalam upacara itu. Mulai yang sudah beruban hingga anak kecil. Namun sayang tidak kelihatan sosok pemudi desa yang hadir. “Apakah tidak ada diantara mereka yang peduli degan adat ini,” ujarku melihat keadaan.
Saat-saat menyantap makanan yang ditungu-tunggu warga pun siap untuk disantap. Namun ketika itu pemimpin upacara meminta kesempatan waktu untuk angkat bicara.
“Kita akan mengadakan Lalak uma (Pantang Ladang) selama tiga,” kata Saena. Pantang Keladang ini harus dipatuhi warga dan tidak boleh dilanggara. Apabila dilanggar warga akan dikenakan sangsi adat kerena diangap ngarumpang Lalak (melanggar pantang). Sangsinya berupa enam tahil tengah, yaitu berupa babi atau ayam. Atau juga bisa berupa Darah ampa’ (Sirih dan pinang yang dikunyak kemudian diludahkan). Hukuman Darah ampak sebenarnya cendrung lebih memalukan bagi sipelanggar dari pada hukuman enam tahil tengah. Karena disini pelanggar dianggap sebagai momok oleh masyarakat adapt.
Adat Baburung Dayak Kanayant berasal dari adat Karimawang asal Mempawah atau Bangkule Rajak. Baburung adalah sebagaian dari upacara adapt dalam poerladangan. Sebab masih ada upacara lainya dalam peristiwa perladangan itu.
Pada peristiwa Bahuma (berladang ) masyarakat Dayak Kanayant Sungai Ambawang, tidak dapat dipisahkan dengan proses adat-istiadat. Dari mulai perladangan hingga panen.
Menurut Pangaraga (Pengurus adat) Gamo, setekah baburung’k biasaya warga meminta kembali kepada Jubata melalui upacara yang sederhana. Yaitu upacara Ngawah (memberitahu) materi adatnya adalah berupa sekapur dan sirih. Setelah tiga hari baru kemudian masyarakat mulai menebas lading. Baik lahan baru yang akan dibuka, maupun lading lama yang akan difgarap kembali. Kemudian upacara dilanjutkan dengan nurunan padi (membawa padi keladang), selanjutnya adat Ngabat (menutup lubang padi yang sudah dibenihi), membuang panyakit padi yang disebut juga eap.
Warga Desa Pancaroba Saidi Iyat, berharap agar kegiatan Balalak ini mendapat perhatian dari pemerintah. Sebab didalamnya ada unsure budaya yang perlu dilestarikan. Sehingga nantinya bisa menjadi asset bagi masyarakat Kalimantan Barat.
Apalagi di Kalimantan Barat cukup banyak suku yang mempunyai budaya yang unik. (publish in Borneo Tribune, 2007)


Telek samuanya...

Kamis, 19 Juli 2007

CONEKNG*)

(Testimoni Misteri Pelet Dayak Kanayat)


By Yana


Ini bukan lelucon. Empat tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, seorang gadis berperawakan tinggi kerempeng dengan dada kecil datang ke rumah sambil menyeret sisa tangis.
Namanya De, Desember tahun ini ia genap berusia 22 tahun. De adalah temanku, walau kami tak begitu akrab. Rambutnya yang panjang dan jarang diikat memberi kesan feminim pada yang melihat. Satu hal yang uni dari gadis ini, dia selalu membawa tas setiap berpergian.
Malam itu ia menemuiku dengan wajah gusar dan mata yang sedikit sembab.
Bugs Gif Images
“Padahal sebelumnya aku tak menyukainya.” Mata De menerawang jauh, tatapannya gelap menabrak malam.


Aku masih diam belum mengerti apa yang terjadi. De hanya mengatakan kalau sesuatu dalam dirinya sedang bergejolak. Akibatnya makan pun tak enak, tidur pun tak nyenyak. Semakin lama, wajahnya semakin gelisah.

Ada apa? Aku mengerutkan kening, tak mengerti. Aku merubah posisi duduk, lebih dekat dengannya, menanti kalimat selanjutnya.
Hening, padahal malam belum begitu larut. Tapi di luar sudah sepi. Maklumlah, listrik padam, hujan gerimis pula. Hawa dingin membuat membuat orang-orang terlanjur merapat ke balik selimut dan malas untuk keluar lagi. Tapi kami baru memulai percakapan di beranda rumah.

Pasti tak ada yang lebih enak dilakukan selain tidur, pikirku. Kecuali ada hal yang sangat luar biasa, seperti yang dialami De.
Mulut gadis itu kembali terbuka, menyemburkan sesuatu yang membuat aku terperangah.
“Aku diguna-gunai. Buktinya tiap saat aku selalu teringat padanya. Pasti dia meberikan sesuatu di mangkuk baksoku.”

De menceritakan terakhir bertemu dengan lelaki itu, seminggu sepekan lepas.
“Dia mentraktirku bakso di kantin sekolah,” ujarnya.
Ia menatapku nanar, menunggu reaksi.
“O...,”
Aku hampir cekikian, tapi kutahan saja. “Hari gini masih percaya sama yang begituan?” pikirku dalam hati.
De mengaku, tiap saat, tiap waktu dan kemana pun kakinya melangkah wajah pemuda teman sekolahnya itu terus terbayang. Ingin bertemu, rindu noek-noek (mengganggu) yang melampaui batas. Barangkali seperti rasa haus yang tak tertahan!

“Apa kau tau penawarnya? Aku begitu tersiksa jika terus terkenang.”
De mengeluh, ia tampak sangat menderita.
“Mungkin aku tau sedikit,” sahutku sekenanya. Padahal aku tak begitu yakin.
“Itu namanya conekng atau yang disebut Pelet.”

***
Conenkng atau pelet bahasa lainnya adalah ilmu pengasihan. Suatu daya magis yang membuat orang yang dipelet tergila-gila dan ‘jatuh cinta’ kepada pengguna. Orang Dayak Iban menyebutnya Jayau, tapi orang Dayak Kanayatn menyebutnya conekng. Aku pernah mendengar kakekku bercerita tentang ilmu magic yang satu ini. Seorang peneliti jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia, Dr Hermansyah pernah menulis tesis tentang Magi Ulu Kapuas. Diantaranya membuat kajian tentang kearifan lokal masyarakat Melayu Kapuas Hulu yang memiliki cuca atau jampi-jampi demikian.

Aku memutar memoriku ke tiga tahun silam. Pada percakapan dengan kakekku. Kakekku itu dikenal sebagai seorang para normal atau dukun paboreatn. Yaitu orang yang memiliki keahlian mengobati orang sakit dengan cara babore balenggang (ritual pengobatan tradisional Dayak Kanayatn). Saat mengobati si sakit, kakek membaca mantranya diiringi tetabuhan yang berasal dari dau (gong-gong kecil), tawak (gong besar) dan solekng (suling).

Orang kampung memanggilnya Nek Usu. Tapi nama lengkapnya adalah Yohanes Uncokng. Orang Dayak Kanayat selalu menyebut kakek atau nenek dengan Nek saja, lantas diikuti nama nya. Misalnya Nek Baruang Kulup, Nek Bagas, Nek mangku dan lain-lain. Sama dengan masyarakat Dayak Kayaan Mendalam yang menyebut kakek atau nenek cukup dengan kata Uku’. Nek Usu usianya sekitar 65 tahun. Dia cukup punya nama di Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang.

Suatu hari kakek menjelaskan kalau conekng adalah sejenis ritual yang dilaksanakan dengan tujuan membuat pria atau wanita yang diinginkan menjadi tertarik dan tergila-gila pada peyonekng. Penyoneng adalah orang yang memakai conekng untuk memelet. Masih menurut kakek, conekng tidaklah berbahaya bagi nyawa seseorang. Ia hanya membuat orang mengalami kerinduan hebat.

“Conekng nang lazim urakng kanal, khususnya urakng diri Dayak Kanayatn, conekng nang make mantra. Sabanarnya ada uga’ conekng nang nana’ make mantra. Cuma make ‘paribuh-paribuh’ koihan. Make cara palakasanaan nang kusus. Palaksana’annya malam Jum’at. Nana’ mulih malam lain,” terang Nek Usu.

Meski pandai berbahasa Indonesia, tetapi jika berbicara kepada cucu-cucunya dan orang sekampung, Nek Usu selalu menggunakan bahasa daerah. Jika diterjemahkan, artinya, ”conekng yang lazim orang kenal, khususnya orang kita dayak kanayatn adalah conekng yang menggunakan mantra. Sebenarnya ada juga conekng yang tidak menggunakan mantra. Hanya menggunakan barang-barang saja. Menggunakan cara pelaksanaan yang khusus. Pelaksanaannya malam Jum’at, tak boleh malam lain.

“Ah… hal mistis memang tak jauh-jauh dari malam Jum’at,” sahutku sedikit berbisik.

Ngahe harus malam Jum’at, nek?”
Nia bapangaruh ka’ kasiat conekng. Kade’ malam lain, awa pama man jubata bai’ atakng manto’. Na’nyium ia ka’ kamayan nang dinunu (Ini berpengaruh pada kasiat conekng. Kalau malam lain, roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tak mau datang menolong. Mereka tak dapat mencium bau kemeyan yang dibakar).”

Salah satunya adalah ritual conekng yang kutahu dari Nek Usu adalah conekng ai’ mata uap. Uap adalah sejenis burung hantu (eurasian eagle-owl) yang dalam bahasa Indonesia disebut Burung Pungguk. Kok air matanya bisa di jadikan pelet? Padahal Dato’ Mohd Nazri Abdul Rahim seorang Ahli Dewan Undangan Negeri Kawasan Sungai Manik, Malaysia, Dato’ Mohd Nazri Abdul Rahim pernah mempublikasikan di http://berita.perak.gov.my/, kalau burung pungguk ini justru bisa diberdayakan untuk memusnakah tikus di ladang. Hmm, lucu juga ya?

Ritual conekng ai’mata uap dilaksanakan tepat malam jum’at. Tak berlaku untuk malam-malam lain. Beberapa sub suku masyarakat Dayak maupun Melayu percaya saat bulan purnama burung ini akan menangis. Nah, jika malam Jum’at, inilah saatnya panyonekng harus beraksi Jum’at.

“Uap…uap…uap…,” begitu kira-kira bunyi burung itu. Beda dengan sepupunya, burung hantu yang berbunyi “Uk..uk…uk…!”
Wih…merinding jadinya bulu kuduk. Kubelai tengkukku yang terasa sejuk.
“Bayangkan saja kalau kita mendengar tangisan burung ini di tengah hutan, sendiri pula,” pikirku dalam hati.

Bagaimana cara panyonekng beraksi? Biasanya mulai dari mengambil sarang burung uap yang basah. Dipercaya sarang itu basah karena air mata burung tadi yang menurut legenda, dia selalu menangis karena terkenang pada bulan kekasihnya. Anda pasti ingat dengan pepatah lama yang berbunyi, ”like the owl calling the moon (bagai Pungguk rindukan Bulan). Lantas sarang itu dibakar sampai menjadi arang.

Urakng nang kana conekng kalakuannya ampir sama man burukng nia. Kaja ngeak kade’dah takanang ka’urakng nang nyonekng ia ,” kata Nek Usu ketika itu. Maksudnya orang yang terkena conekng kelakuannya hampir sama dengan burung ini. Sering menangis saat teringat pada orang yang memberinya conekng.

Arang dari sarang burung ini kemudian dicampur minyak kelapa ijo. Minyak ini terbuat dari daging kelapa hijau yang diparut, diperas dan diambil sarinya lalu disaring. Air hasil saringan direbus sampai kering dan menyisakan minyak. Minyak inilah yang disebut minyak kelapa ijo.

Arang dan minyak yang sudah dicampur tadi kemudian disaring. Hasil saringannya dimasukan ke dalam botol lalu disau’ (mengelilingkan botolnya di atas asap pembakaran kemeyan) sampai minyak tadi berbuih. Setelah itu, masukkan jarum dan kapas ke dalam botol berisi minyak tadi. Minyak inilah yang dioleskan pada alis mata panyonekng menggunakan jari manis. Keesokan harinya, jika bertemu dengan sang pujaan hati (target), panyonekng tinggal mengangangkatkan alisnya atau mengedipkan mata ke arah orang yang menjadi target. Saat beraksi, harus dipastikan mata panyonekng menatap tepat di mata sasaran. Jika memang tokcer, gadis atau pria yang menjadi sasaran pasti langsung jatuh hati dan tergila-gila pada panyonekng.

Tak selesai sampai disitu saja. Panyonekng harus melingkarkan tangannya pada pinggang orang yang menjadi objek sambil menyentuhkan jari manisnya ke tulang rusuk sebelah kiri target. Konon, dengan teknik tambahan ini objek akan semakin tergila-gila, lengket seperti perangko dalam jangka waktu yang lama bahkan bisa seumur hidup. Syaratnya anda sanggup tak melanggar pantangan!

Selain conekng air mata uap, ada lagi conekng yang menggunakan mantra.
Menurut dukun paboreatn yang lain, Andang, conekng yang menggunakan mantra agak lebih sederhana. Seperti Nek Usu, Pak Andang juga dukun paboreatn yang kesohor di seantero Sungai Ambawang, khususnya di Desa Lingga, Korek dan Pancaroba. Tahun ini, usianya mungkin sudah 70 tahun.

Panyonekng harus ngalit bu’uk kakasihnya koa. Kade’ dah namu bu’uk koa, pada malam juma’at panyonekng nunu bu’uk kao tadi ka’ atas kamayan sampe jadi abu. Sambil maca mantra. Kade batamu man kakasih nang dibarea’ conekng tadi, tolesatn abu tadi ka’ kaning antara dua bege’ matanya. Tagah kao dari, pakoa ugak ia naringatatn kao…(Panyonekng harus mencuri rambut kekasihnya itu. Kalau udah dapat rambut itu, malam jum’atnya panyonekng membakar rambut itu di atas pembakaran kemeyan sampai jadi abu. Sambil baca mantra. Kalau bertemu dengan kekasih yang mau diconekng, toleskan saja abu tadi di kening antara kedua matanya. Setelah panyonekng pergi, maka ia akan terkenang),” urainya suatu hari. Ia juga mencontohkan mantra conekng tersebut.

Bismilah tanah ai’ bare’ aku sarupa langit man Allah
Kambang tujuh rupa nyingah ka’aku
Cahaya malimpah ka’muhaku
Kasih malimpah ka’mataku
Tancapatn rusukku ka’ati kakasih
sahingga takana’ takanang ka’muhaku
barakat aku make cahaya langit
barakat aku make cahaya Allah
barakat ak make cahaya pangasih
makin sa’ari makin nganang aku
makin sabulatn makin ngeaki’aku
makin satahutn makin kasih ka’aku
barakat aku make cahaya langit
barakat aku make cahaya Allah
bismilah…

***
Di luar gerimis mereda.
Namun biasnya serasa menikam tulang. Aku menghentikan cerita. De terpaku disebelahku, hanyut dalam malam yang kian larut.

Aku bangkit dari tempat duduk, mengambil dua gelas air putih. Kulirik De yang masih penasaran menanti jawaban.
“Lalu bagaimana menghilangkan conekngnya? Apa penawarnya?” Di bawah remang lampu beranda, matanya tampak berkaca-kaca dan memelas.

Aku menyerumput minuman. Membasahi kerongkongan.
Ah, Kasian juga aku membuat ia menunggu. Aku ingat kalimat Nek Usu tiga tahun yang lalu.

“Pertama, mandi kembang di bawah tangga teras rumah. Satu orang menyiramkan air kembang ke kepalamu. Ramuannya bunga melati, daun selasih, daun sirih dan buah langir. Kedua, merunduk bolak-balik di bawah jemuran. Dijamin pengaruh conekngnya hilang. Coba aja!”

Tapi terus terang aku sendiri tak begitu yakin. Tapi aku bukan cenayang atau para normal yang bisa menyembukan.
Syukyurnya De tampak puas. Senyuman mengembang menghias wajah.

“Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan berhasil melenyapkan pengaruh conekng yang bersarang dalam tubuhku ini,”
“Kau yakin?” Tanyaku.
Aku tersenyum kelu sebelum kami berpisah.

***
TIGA hari kemudian, De datang lagi menemuiku dengan muka pucat. Tampangnya lebih kusut dari kemarin, lelah karena semalaman tak tidur lantaran teringat lelaki berinisial Fd. Saking tak kuatnya, De sampai tersedu-sedu. Nasibnya benar-benar mirip pungguk merindukan bulan hari itu.

“Kemarin aku mandi kembang di bawah tangga teras rumahku, merunduk bolak-balik di bawah jemuran 7 kali, panas-panas pula. Bahkan udah tiga kali diulang. Tapi, tetap saja wajah lelaki itu tak mau lenyap. Bahkan perasaan ini semakin kuat, pengaruh conekng itu belum juga hilang...,” keluhnya.

Keningku kembali mengkerut. Walau tak gatal, tak sadar aku menggaruk-garuk kepala. Hampir saja tawaku meledak.
Terus terang… sulit untuk membedakan antara kasmaran akibat conekng dengan jatuh cinta benaran.
Tapi De tiba-tiba bangkit. Aku terkaget-kaget. Dia seperti seekor burung dara yang menemukan cara lolos dari sangkar.
“Sebentar…,” katanya.
“Apa?” tanyaku agak kaget.
“Aku belum mencoba cara terakhir?”
“Apa itu?”
“Pantangan panyonekng adalah memakan kulat putih. Besok aku akan menemui Fd dan memaksa dia makan kulat itu.”
De bergegas pergi, meninggalkanku yang terbengong-bengong sendirian.

Lingga, 9 Juli 2007

*) Karya salah seorang peserta pelatihan Jurnalistik Mahasiswa se Sungai Ambawang yang dilaksanakan pada 7-9 Juli 2007 di Desa Korek.

Telek samuanya...

Pantak Nek Intong, Quo Vadis Dayak

Oleh: Stefanus Akim

Masyarakat Dayak tempo doeloe memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah sejenis patung kayu yang wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud.

Di Kecamatan Sungai Ambawang salah satu yang memiliki Pantak adalah Nek Intong yang lokasinya di ‘Bingkuakng’ yang masuk dalam wilayah Desa Durian-Duriatn. Berjarak sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan motor air dari Ambawang Kuala.

Konon Nek Intong adalah seorang tokoh dukun yang sangat sakti, ia juga seorang pengalangok yang gagah berani. Kala itu sepanjang sungai Ambawang masih banyak sekali buaya. Daun jatuh saja ditangkap, apalagi orang yang akan melintasi sungai itu. Hutannya masih rimbun dan dari seberang ke seberang masih nyambung. Binatang yang hidup di pohon seperti monyet, orang utan, tupai dan lainnya mudah saja pindah dari seberang ke seberang lainnya.

Dengan situasi seperti itulah ia menunjukkan kemampuan dan kesakiannya. Sehingga banyak yang bergantung dan mengharapkan kekuatannya.

Nek Intong adalah dukun Baliatn. Ia tak hanya mengobati manusia namun juga mengobati binatang yang hidup di sekitarnya. Suatu hari datang seekor burung Kulang Kulit yang sakit di pelataran rumah Nek Intong. Ia yang mengerti bahasa burukng menanyakan apa yang terjadi dan diinginkan oleh Kulang Kulit. ”Aku nian tek sakit. Dapat gek kao mantok aku, more aku,” kata Kulang Kulit yang artinya aku ini sakit. Dapat ndak kamu nolong saya, mengobati saja.

Ia yang menolong tanpa pamrih itulah akhirnya mengobati Kulang Kulit. Diambilnya babi di padulangan-kandang, ayam di kataraatn-kandang ayam, telur ayam, baras poe baras sunguh, pinang gamer timako rokok, dan paramu berobat lainnya. Termasuk darah asuk-anjing. Selesai baliatn, Kulang Kulit pun sembuh. Ia berjanji jika ada anak cucu keturunan Nek Intong yang diganggu maka sebut saja namanya. Di masyarakat Dayak, Kulang Kulit yang suaranya menggema pada malam hari semacam burung hantu yang menakutkan. Maka jika bersuara ada upaya yang dilakukan dengan nyampakng-ngingatkan bahwa manusia adalah keturunan Nek Intong.

”Ame kita’ ngaco kami. Kami nian panganak ucu Nek Intong,” itu kata ibuku jika ada suara Kulang Kulit. Artinya jangan kalian menganggu kami, sebab kami ini anak cucu Nek Intong.

Aku masih ingat saat tinggal di Nilas, sebuah kampung yang kini masuk di antara Parit Banjar dan Parit Baru, Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B. Jika ada suara burung itu sudah mulai riuh maka almarhum nenekku dan ibuku akan cepat-cepat nyampakng Kulang Kulit. Kampung yang dialiri Sungai Nilai yang tembus ke Desa Kopiang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak itu memang terbilang sepi. Hanya ada tiga buah rumah yang jaraknya masing-masing sekitar 100 meter.

Di pantak biasanya orang membayar niat. Atok adalah salah seorang yang membayar niat. Bersama keluarga besarnya ia mengunjungi Pantak Nek Intong karena kelahiran anak pertamanya yang sehat sekitar tahun 1980, 3 tahun usia anak pertamanya. Anak pertamanya itu adalah aku yang kini menulis artikel Nek Intong, Quo Vadis Dayak?

Kembali ke Nek Intong, setelah ia meninggal anak cucunya membuatkan pantak untuknya. Untuk membuat itu bukan perkara mudah. Puluhan ekor babi, ayam, beras dan lain-lain disiapkan.

Kayu yang dipilih juga bukan sembarang kayu, namun kayu yang ’mau dan setuju’ untuk dijadikan pantak. Caranya dengan memotong sedikit kayu tersebut sambil berujar. ”Kami maok manjuat tak pantak Intong. Kita’ setuju gek ina’” artinya Kami akan membuat pantak untuk Intong, apakah setuju atau tidak.

Jika kayu setuju dan berjodoh maka ia akan mengeluarkan darah yang keluar dari bekas kulit tersebut. Jika tidak maka tidak akan keluar darah. Untuk mencari kayu seperti ini dibutuhkan waktu berhari-hari, masuk keluar hutan dengan rombongan yang tidak sedikit.

Saat merencanakan, memilih kayu, membuat, hingga selesai proses itu menggunakan upacara adat. Jika dilakuakn saat ini mungkin bisa membutuhkan dana ratusan juta rupiah.

Siapa saja yang bisa dibuatkan pantak? Kategorinya adalah pagalar, pangaya, pangalangok-orang bergelar, orang kaya dan panglima perang. Pagalar diantaranya timanggong, pasirah, pangaraga (anak raga), singa, dukun dan lain-lain. Mereka umunya pengurus adat yang tanpa cela.

Pangaya adalah orang kaya yang sejarah kehidupannya baik, bersih dan jujur tidak ada cela. Ia memperoleh kekayaan dengan cara yang beradat.

Sedangkan pangalangok adalah kelompok panglima perang, orang yang memiliki kesaktian yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Punya kemampuan lebih dari orang lain.

Dari semua pantak, yang cukup terkenal dan dipercaya memiliki kekuatan gaib adalah pantak Mamo-pantak Nek Mamo. Ia terletak di salah satu desa di Banyuke yang aku tak tahu persis lokasinya. Pantak tersebut yang sudah ratusan tahun bertunas dan hidup. Jika kita datang di lokasi dan mengatakan ingin mendapatkan berkah, rezeki atau kesaktian jika beruntung maka salah satu bagian pantak hidup itu akan jatuh. Misalnya daunnya, ranting atau bahkan ada hewan yang menghantarkan. Misalnya tikus yang tiba-tiba keluar dari lobang dan membawa ranting yang membawanya dekat kita.

Ada juga patung masyarakat Dayak Kanayatn yang mirip dengan pantak. Namun ia dibuat bukan berdasarkan tokoh. Ia umumnya dikenal dengan Nek Ampagok.

Salah satu contoh Ampagok adalah yang terletak di Kuala Retok atau Ambawang Kuala serta Koala Ampaning.

Ampagok umumnya digunakan untuk meminta berkah selama proses tanam padi. Mulai dari ngawah-melihat lokasi, nyumbat lubakng tugal-setelah habis nugal, hingga bahanyi-panen yang diakhiri dengan makatn nasi baharu-makan nasi baru. Tempat ampago biasanya dikenal dengan Pantulak atau Paburungan.

Kini keberadaan situs masyarakat Dayak Kanayatn tersebut terancam oleh tangan-tangan jahil. Banyak pencuri yang mengicarnya sebab harganya cukup mahal dan mungkin saja ada sebuah proses ’penghilangan’ sistematis agar generasi muda sekarang tercerabut dari akar budayanya. Quo vadis Dayak?-mau kemana Dayak? Semua tergatung kepada generasi muda saat ini.

Pencurian dan pengerusakan Pantak dan Ampago di ’Sunge Ambawang’ sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejak tahun 1970-an. Misalnya saja di Koala Babatakng, sekarang Desa Kubu Padi Kecamatan Kuala Mandor B ada misionaris Kristen yang menggesek pantak. Ia mengatakan itu adalah berhala, orang Kristen dilarang menyembah berhala. Pantak yang digesek itu kemudian ditenggelamkan di Sungai Babatakng.

Tahun 1990-an misalnya Ahua seorang tokoh Dayak yang rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari Ampago Kampokng Ampaning terpaksa harus menarik senapan lantak. Ia melihat ada segerombolan orang yang mencoba mencuri Ampago dengan menggunakan speed boat namun digagalkan oleh Ahua.

Kasus terbaru tahun 2005, puluhan pantak dan ampago berhasil diamankan oleh Polisi Kota Besar (Poltabes) Pontianak dan Polisi Sektor (Polsek) Pontianak Timur dari salah seorang kolektor di Pontianak Timur. Ternyata situs bersejarah tersebut berasal dari Kecamatan Manyuke-Banyuke. Andreas Lani, politisi Partai Golkar yang kini anggota DPRD Kalbar asal Kabupaten Landak memastikan bahwa barang langka tersebut berasal dari tempatnya. Apalagi ia membawa tokoh adat dan orang kampung untuk memastikannya.

Di Kampokng, Desa Kubu Padi persisnya di muara sungai kecil dulu tahun 1980-an aku masih sering melihat ada ampago di muara sungai tersebut. Kondisinya tak terawat dan berada di tengah hutan sagu. Kini tak tahu persis mungkin saja sudah dicuri juga.

Di Sungai Ambawang ada sebuah bentuk inkulturasi dan akulturasi antara kepercayaan masyarakat Dayak dan Cina. Misalnya di Ambawang Kuala yang persis di pertigaan sungai Landak-Sungai Ambawang Pekong (tempat ibadah Cina) dan Pantulak (tempat Ampago Dayak) dibuat satu rumah. Lokasinya hanya dibedakan oleh sekat atau kamar. Begitupun di Kuala Retok, Kuala Mandor B. Bahkan banyak orang Cina yang membantu membangun Pantak untuk orang Dayak.

Meskipun pantak, ampago dicuri namun kepercayaan dan spiritnya tak akan pernah hilang. Ada kepercayaan ’karamat man panunggu aik tanah’-yang menunggu air dan tanah atau roh sakti tak pernah akan pergi dari tempatnya. Ia akan mencari media lain dan kesaktiannya tak akan pernah ikut dengan tubuhnya-patung. □

*Penulis adalah Redaktur Harian Borneo Tribune Pontianak kelahiran Ampaning dan keluarga di Retok. Menimba ilmu di Seminari St Paulus Nyarumkop dan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Belajar Narrative Reporting di Pantau Foundation Jakarta kepada Andreas Harsono, penerima Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard dan Janet Steele dari George Washington University. Ikut pelatihan investigative reporting dan etika media kepada Roberta Baskin dan Prof Dr Ralph Barney dari USA, serta Dr Elias Tana Moning, Atase Pers Kedubes AS Stanley Harsha dan serta CEO Jawa Post Dahlan Iskan.

Telek samuanya...