BALA MALAHIA CORNER MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS DILANTIKNYA DRS CORNELIS MH MENJADI GUBERNUR KALIMANTAN BARAT man CHRISTIANDY SANJAYA SEBAGAI WAKIL GUBERNUR. HIDUP PUTRA DAYAK!!

Kamis, 28 Juni 2007

NYANGAHATN


By Stefanus Akim

Masyarakat adat Dayak Kanayatn mengenal tradisi bersyukur dan meminta dengan sebutan ‘nyangahatn’. Lewat tradisi yang hidup sejak dahulu kala hingga kini menjadi sarana untuk ‘berbicara’ dengan penciptanya . Ada pepatah yang selalu mereka pegang teguh, “Adat nang dinunak, dinali, dinamputn”. Adat yang ada sejak manusia ada yang diikuti dan disambung secara turun-temurun.

Nyangahatn menunjukkan perbuatan, oleh panyangahat atau orangnya sebagai bentuk ucapan syukur dan terima kasih serta permohonan kepada Jubata. Sebutan Tuhan bagi orang Dayak.

Adat, budaya dan tradisi Dayak sesungguhnya tak akan terlepas dari siklus tanam padi. Hampir semua upacara adat dilakukan dan bermula dri tanam padi.

Sejak mempersiapkan lahan untuk ditebas, sudah ada upacara adat. Biasanya secara bersama-sama masyarakat dalam sebuah kampokng ( kira-kira sebesar dusun) akan berangkat ke Panyugu. Disana seorang panyangahatn akan meminta kepada Jubata agar patahunan (proses lingkaran satu tahun padi dari mulai menebas hingga panen) bagus.

Pada upacara adat ini biasanya dipimpin oleh perangkat adat khusus menangani padi, Tuha Tahutn. Warga sekitar akan membawa parang, tangkeatn (bibit padi yang bulirnya paling bagus dan berisi yang belum dilepaskan dari tangkai), batu asah, inge (wadah pemungut padi), katam (anai-anai), dan laiinya.

Seorang panyangahatn kemudian akan membacakan mantranya mulai dari Sangahatn Bapipis (pembukaan dengan ayam masih hidup) serta Nyangahatn Masak (Ayam dan perangkat lain sudah dimasak).

Ia akan menandai setiap yang hadir dengan baras banyu. Beras dicampur dengan minyak tengkawang atau minyak kelapa yang dipercaya bisa mengobati dan melindungi. Ia juga akan mengoleskan tampukng tawar. Beras yang ditumbuk dengan kunyit di dahi mereka yang hadir.

Setelah melihat hari baik, maka warga akan mulai menebas di ladang masing-masing. Ada diantaranya yang akan balale (gotong-royong). Dalam bulan pertama hanya sedikit yang dianggap hari baik, namun pada bulan kedua mereka akan menebas atau menebang pohon (barimba’) hampir setiap hari. Pantangan itu tak boleh dilangar, sebab mereka percaya akan menimbulkan hal yang tidak baik. ‘Bujakng’, misalnya jika dilanggar maka keluarga yang bersangkutan bisa meninggal dalam usia muda. Parahnya lagi ada yang namanya ‘pati nyawa’, dimana bisa merenggut salah seorang keluarga tersebut. Sementara jika ‘kalalah idup’, maka mereka yang melanggar akan menanggung beban berat selama hidup. Misalnya saja bekerja sekuat apa pun bekerja namun hasilnya tetap nihil atau bahkan melarat.

Dari semua larangan tersebut mungkin hanya ‘kadakng’ yang biasa dilanggar oleh mereka. Sebab resikonya tak terlalu berat, hanya ladang yang bisa tak hangus terbakar jika dilanggar.

Setelah membakar ladang, kemudian menuggal. Setelah beberapa minggu kemudian ada upacara adat yang dikenal dengan ‘nyumbat lubakng tugal’. Upacara ini biasanya bersamaan dengan ‘ngarumput’ (merumput). Nyangahatn kali ini akan menggunakan sepasang ayam, beras pulut dan putih, tumpi’ (cucur), solekng (beras pulut yang dimasak dalam bambu), bontokng (beras dimasak dalam daun bemban) dan lain perangkat lainnya.
Warga kampung dilarang bersiul sebab padi dipercaya dijaga oleh ‘urakng barani’. Kamang muda. Jika bersiul apa lagi panjang dan melengking, maka dianggap memanggil mereka. Dalam tradisi Dayak Kanayatn ada tujuh orang kamang, diantaranya Bujakng Nyangko, Kamang Bunsu, Kamang Layo, Kamang Beber dan lainnya. Jika perang suku, biasanya mereka dipanggil untuk membantu. Sebab asal-usul urakng barani bersaudara dengan manusia.

Masih serangkian dengan nyumbat lubakng padi adalah balala’ atau pantangan. Warga dilarang ngalayui’ atau membuat tanaman layu. Termasuklah dilarang mematahkan daun, dilarang membunuh hewan, masuk atau keluar dari kampung bersangkutan, dilarang berteriak, dilarang bersiul dan membatasi berkeliaran di sekitar kampung.

Jika melanggar maka yang bersangkutan akan dikenai denda adat sebab sudah ‘ngarumpakng lala’ atau menerobos larangan dan pantangan. Bisanya Tuha Tahutn akan menyarankan yang bersangkutan makan sirih. Air sirih kemudian dioleskan di kening warga sekampung. Meskipun biayanya tidak besar, namun bisanya yang melanggar lala’ lebih memilih membeli ayam dan menyiapkan perangkat adat lainnya. Sebab darah ampa’ atau air sirih sama dengan darah yang bersangkutan yang diberikan kepada warga sekampung.

Lamanya balala’ tergantung berat tidaknya penyakit padi. Jika hama tikus atau yang lain begitu mewabah maka bisa tiga hari. Jika bisa-biasa saja maka cukup tiga hari yang dimulai sejak matahari terbit dan berakhir dengan matahari terbenam.

Upacara nyangahatn kembali akan dilakukan oleh warga kampung setelah usai panen sebagai bentuk ucapan syukur atas keberhasilan panen. Upacara kali ini agak besar dan dikenal dengan ‘makatn nasi baharu’. Makan nasi yang baru dipanen. Ada juga yang menyebutnya baroah. Upacara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal naik dango.

Ada sedikit perbedaan antara antara Dayak Kanayatn yang berasal dari adat Karimawakng asal Mempawah atau Bangkule Rajakng dengan Adat Talaga yang berasal Pahauman. Jika Karimawatn nyangahatn malam dan makan juga malam hari, maka Talaga bisanya pada pagi hingga siang hari.

“Asak, dua, talu, empat, lima, anam, tujuh...oh kita’ Jubata yang badiapm kak aik dalam tanah tingi, puhutn ayak, puhutn tingi. Kita’ karamat ai’ tanah nang mampu nunu ai’ sakayu, nyambong sengat. Kami bapinta kami bapadah, ame babadi kak kami talino manunsia”. Yang artinya satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuk...Jubata yang menguasai di air dalam, tanah tinggi, pohon kayu besar, pohon kayu tinggi. Penguasa air dan bumi yang mampu membakar air satu sungai, menyambung nyawa. Kami meminta dan mengabarkan, jangan memberikan wabah kepada manusia. (sumber: http://stefanusakim.blogspot.com)

Telek samuanya...

Naik Dango, Pesta Syukur Dayak Kanayatn

"UNTUK memotong bambu, pegang mandaunya harus miring Pak." Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Aspar Aswin pun menurut. "Praak!" Potongan bambu berukuran empat meter itu pun terputus oleh sekali tebasan mandau yang diayunkan Gubernur.

Begitulah, upacara penyambutan tamu kehormatan oleh masyarakat Dayak Kanayatn yang tersebar di beberapa daerah di Kalbar. Upacara selanjutnya adalah mengiring Gubernur menuju rumah betang (rumah panjang) atau radang.

Dengan tari-tarian tradisional, sejumlah pemuda dan pemudi mengantar Gubernur Aspar Aswin naik ke rumah panjang di Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak. Desa Lingga sendiri jaraknya cuma 20 kilometer dari Kota Pontianak, tetapi untuk mencapai desa itu bukan perkara mudah karena jalannya masih jelek.

Kedatangan Gubernur Aspar Aswin ke Desa Lingga itu adalah bagian dari penyelenggaraan pesta adat Dayak Kanayatn yang biasa disebut Naik Dango (naik lumbung). Yakni sebuah upacara syukur atas hasil panen padi yang melimpah.

Bagi sebagian masyarakat perkotaan, padi atau beras hanyalah sekadar barang kebutuhan sehari-hari, komoditas yang dapat dibeli asalkan ada uang. Tetapi, bagi masyarakat Dayak Kanayatn atau juga petani pada umumnya, padi dan beras bukanlah semata-mata produksi dan komoditas, melainkan rahmat Ilahi yang harus disyukuri.

Padi dan beras adalah kehidupan petani itu sendiri. Karena itu, seluruh rangkaian proses produksi padi itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan yang harus selalu dipandang sebagai rangkaian perjalanan hidup itu sendiri. Tidak mengherankan kalau masyarakat tradisional Dayak Kanayatn menganggap seluruh rangkaian proses produksi padi: persiapan menanam, saat menanam, masa panen, dan penyimpanan hasil panen sebagai suatu rangkaian kejadian penting dalam siklus hidup mereka.

Mereka menghayati rangkaian proses itu dalam bentuk-bentuk kegiatan ritual berkaitan dengan kegiatan pertanian yang sudah bermakna religius dan selalu dihubungkan dengan kebesaran Nek Jubata (Sang Pencipta).


***
DALAM semangat itu pulalah upacara Naik Dango masyarakat Kanayatn di Kabupaten Pontianak, Kalbar, pada 26-28 April lalu harus dipahami. Upacara adat itu sendiri sebenarnya sudah menjadi kegiatan rutin tahunan masyarakat Dayak Kanayatn dan selalu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Nek Jubata atas hasil panen padi atau pertanian lainnya.

Penyelenggaraan upacara tradisional itu dilakukan secara bergiliran dari desa ke desa lain dan selalu dihadiri oleh utusan masyarakat Dayak Kanayatn dari berbagai kecamatan di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Sanggau. Para utusan itu biasanya datang dengan membawa dan menyerahkan berbagai hasil pertaniannya kepada desa penyelenggara. Bukan hanya itu, mereka juga biasa menampilkan tarian dan olahraga tradisional.

Tahun ini, Desa Lingga di Kecamatan Sungai Ambawang dipilih sebagai penyelenggara upacara Naik Dango. Tahun ini pula, penyelenggaraan lebih meriah karena ada keinginan pemerintah untuk mengangkat upacara tradisional masyarakat Dayak Kanayatn itu sebagai event budaya yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk unggulan wisata budaya. Tak heran kalau selama tiga hari berturut-turut suasana Desa Lingga yang biasanya sepi itu menjadi sangat meriah. Untuk mencapai desa yang terletak di sebelah barat dari pusat Kota Pontianak itu, ribuan warga Dayak Kanayatn dan juga pengunjung lain rela menempuh perjalanan yang melelahkan. Maklum, jalan menuju Desa Lingga memang masih berupa tanah yang di beberapa ruasnya bahkan berlumpur becek.

Di tempat penyelenggaraan pesta Naik Dango, sejumlah utusan dari kecamatan, khususnya dari wilayah Kabupaten Pontianak, membawa berbagai hasil pertanian dan sesaji yang ditandu beberapa pria dengan iringan tarian dari beberapa wanita. Berbagai hasil pertanian dan sesaji itu dibawa ke rumah Betang untuk diberkati oleh Panyangahatn (imam adat).


***
NAIK Dango secara harfiah diartikan sebagai awal masuknya padi ke lumbung-lumbung petani. Sebuah sistem ketahanan pangan yang kini mulai banyak ditinggalkan para petani akibat pengaruh budaya konsumerisme materialistik.

Dalam sistem dango yang sudah lama berkembang, petani secara arif menyisihkan hasil panennya untuk disimpan di dango untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai dengan masa panen berikutnya. Bahwa hasil panen baik dan padi yang dapat disimpan di dango dalam jumlah cukup, itulah yang mereka syukuri dan kemudian dilembagakan dalam pesta adat Naik Dango. Selain bersyukur, mereka juga memohon agar Sang Pencipta memberikan hasil panen tahun depan lebih baik serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.

Sebagai sebuah pesta adat, upacara Naik Dango semula memang hanya melibatkan masyarakat adatnya saja. Akan tetapi, bukan tidak mungkin pesta adat itu akan menjadi lebih bermanfaat dan memberikan nilai tambah secara ekonomis jika upacara adat itu bisa diangkat dalam sebuah bisnis pariwisata budaya. Tampaknya itulah yang ingin coba dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalbar dalam menggarap potensi baru sumber pendapatan daerah.

Menurut Gubernur Aspar Aswin, Naik Dango sebagai salah satu keunikan budaya masyarakat Kalbar sebenarnya "nilai jual" tinggi bagi wisatawan mancanegara. Tentu saja itu harus disertai dengan promosi yang gencar dan kemasan acara yang menarik bagi wisatawan. "Tidak kalah penting adalah kesinambungan acara dan penggarapannya yang lebih serius," kata Gubernur. Jika itu bisa dilakukan, bukan tidak mungkin upacara adat Naik Dango itu menjadi sumber pendapatan asli daerah.

Naik Dango, kata Gubernur, juga memiliki nilai religius di mana setiap anggota masyarakat patut mensyukuri karunia Yang Maha Kuasa, termasuk keanekaragaman ciptaan-Nya yang memiliki perbedaan-perbedaan. "Perbedaan-perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dipersatukan," katanya.

Kalau saja pemerintah setempat benar-benar serius memberikan perhatian yang lebih besar pada berbagai acara adat yang unik, bukan tidak mungkin citra pariwisata Kalbar akan kembali terangkat. Sebab, kalau boleh jujur, wisata alam Kalbar kini citranya terus memburuk karena tak terkendalinya kerusakan lingkungan, seperti terus berlangsungnya pembabatan hutan, penambangan emas liar, dan terus terjadinya kerusakan daerah pantai.


***
UPACARA Naik Dango hanyalah satu dari sekian banyak kekayaan budaya dan adat istiadat masyarakat Dayak di Kalbar yang keunikannya sudah lama menjadi "pajangan" dalam brosur-brosur pariwisata Kalbar. Namun, dalam kenyataannya potensi besar itu belum didayagunakan secara baik.

Ada kesan, pemerintah setempat masih melihat penyelenggaraan peristiwa budaya seperti itu lebih sebagai biaya, bukan investasi. Yang lebih memprihatinkan, jangankan untuk melakukan promosi besar-besaran, untuk sarana jalan belasan kilometer saja tidak mendapat perhatian untuk diaspal.

Umbul-umbul dan baliho yang terpasang di sekitar lokasi upacara, misalnya, sangat didominasi oleh para sponsor yang tentu saja mengharapkan produknya laku dijual. Dari pemerintah sendiri, justru tidak terlihat memodali kegiatan itu.

Pertanyaannya adalah apakah kedatangan ribuan orang ke tempat acara itu masih berkait dengan nilai-nilai religius dalam upacara adat Naik Dango? Atau jangan-jangan mereka datang memang hanya untuk menonton pameran barang dagangan komersial di arena tersebut?

Hubungan simbiosis mutualisme seperti itu memang tidak bisa dimungkiri dalam penyelenggaraan kegiatan budaya dengan kegiatan komersial sekarang ini. Namun, tetap harus diperhatikan bahwa kehadiran pameran kemewahan itu tidak boleh menisbikan nilai-nilai adat yang menjadi tema utama upacara Naik Dango, misalnya. Sebab, inilah bagian dari "roh" budaya kerukunan hidup masyarakat Dayak Kanayatn.

Menurut sesepuh dan Ketua Penasihat Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak RA Rachmat Saudin, penyelenggaraan upacara Naik Dango secara populer itu sama sekali bukan dimaksudkan untuk pengkotak-kotakan atau mengunggulkan salah satu suku. Melainkan justru sebagai wujud keanekaragaman masyarakat dan budaya yang harus diartikan saling menghargai dan menghormati.

Masyarakat Dayak Kanayatn, katanya, senantiasa menghindari perbuatan yang tidak terpuji, baik dalam hukum adat maupun hukum positif. Sebab, masyarakat Dayak Kanayatn sampai saat ini masih meyakini bahwa orang yang baik adalah orang yang beradat dengan moto hidupnya Adil Ka'Talino Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ke' Jubata. Artinya, orang Dayak Kanayatn senantiasa berusaha adil terhadap sesama manusia, memandang ke surga, dan hidup berserah kepada Yang Maha Kuasa. (M Syaifullah) Sumber: Kompas Edisi Rabu, 22 Mei 2002

Telek samuanya...